Apakah kita pernah mendapati diri kita menyantap es krim, mungkin sambil membayangkan penolakan dari seseorang? Atau kita menghabiskan beberapa bungkus kentang goreng di depan komputer saat mengejar deadline? Atau kita seorang ibu rumah tangga yang mengunyah biskuit terus menerus di dalam mobil dalam perjalanan menjemput anak dari sekolah? Atau kita seorang pengusaha yang sedang berada dalam tekanan pekerjaan yang tinggi, dan kita tidak menyadari bahwa kita sudah mengalami kegemukan?
Jika kita mengalami skenario-skenario di atas terjadi pada diri kita, maka ketahuilah bahwa ternyata kita tidak sendirian. Stress yang berlanjut cukup lama merupakan pencetus naiknya berat badan kita yang begitu dahsyat, karena ia dapat meningkatkan selera makan kita, membuat kita menjadi gemuk, dan bahkan mengacaukan keinginan kuat kita saat ingin menjalankan pola hidup yang sehat.
Di bawah ini terdapat beberapa hal mengapa stress menyebabkan penambahan berat badan dan juga beberapa strategi utama yang didasarkan dari sebuah riset yang dapat kita pergunakan untuk melawannya.
Hormon-Hormon
Ketika otak kita mendeteksi hadirnya sebuah ancaman, tidak peduli apakah ancaman itu berupa seekor ular di rerumputan, bos yang pemarah, atau tagihan kartu kredit yang membengkak; otak akan terpancing untuk melepaskan berbagai reaksi kimia, termasuk adrenalin, CRH dan kortisol. Otak dan tubuh kita melindungi diri dari ancaman dengan cara membuat kita terjaga, siap bereaksi, dan mampu menahan cedera.
Dalam jangka pendek, adrenalin membantu kita untuk merasakan lapar yang “lebih sedikit”, yaitu ketika darah mengalir menjauh dari organ dalam, dan pada saat itu pada otot-otot besar kita akan terjadi proses “fight or flight”. Akan tetapi saat pengaruh adrenalin hilang, maka kortisol yang diketahui sebagai “stress hormone” akan mulai memberi sinyal ke tubuh kita agar kita segera mengganti suplai makanan kita.
Lemak di Perut
Dahulu kala ketika para nenek moyang kita bertarung melawan harimau dan binatang buas lainnya, tubuh mereka terkondisi dapat menyimpan lemak untuk waktu yang lama. Hal yang tidak menguntungkan terjadi pada kita pada hari ini, yaitu saat kita secara kronis menderita stres akibat krisis dalam hidup kita dan melakukan kerja keras demi hidup kita, maka kita akan rentan terhadap tumbuhnya lapisan tambahan dari “lemak yang membandel” (visceral fat) dalam perut kita.
Perut kita memiliki suplai pembuluh darah yang sangat besar dan reseptor kortisol untuk membuat semua proses dalam tubuh kita bekerja lebih efisien. Sisi buruknya adalah bahwa kelebihan lemak di perut adalah tidak menjadikan kita sehat. Lemak melepaskan zat-zat kimia yang memicu peradangan, yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit jantung dan diabetes.
Kecemasan
Ketika kita merasakan munculnya adrenalin sebagai bagian dari respon fight & flight, maka kita menjadi gelisah dan terus terjaga. Adrenalin bertujuan agar perasaan kita tetap terjaga saat sedang stress. Kegelisahan ini dapat juga memicu “pola makan yang bersifat emosional” (emotional eating). Kelebihan makan atau makan makanan yang tidak sehat sebagai reaksi dari stress atau sebagai jalan meredamnya merupakan respon yang sangat umum.
Di jurnal “Stress in America” dari Asosiasi Psikologi Amerika, berdasarkan suatu survey diperoleh data bahwa 40% responden dilaporkan berhubungan dengan stress seperti ini, sedangkan 42% dilaporkan menonton televisi lebih dari 2 jam sehari untuk mengatasi stress.
Mengidam dan Fast Food
Ketika kita mengalami stress yang kronis, kita cenderung mengidamkan “makanan yang menyenangkan kita” (comfort foods), misalnya satu kantong kentang goreng atau satu wadah es krim. Makanan ini cenderung merupakan makan yang mudah dimakan, cepat diproses tubuh, serta kaya lemak, gula dan garam. Kita menginginkan makanan ini baik karena alasan biologis maupun psikilogis. Stress bisa mengacaukan brain’s reward system, dengan kata lain kortisol mungkin mengakibatkan kita menginginkan lebih banyak lemak dan gula. Kita juga mungkin memiliki ingatan dari masa kecil, seperti aroma dari roti yang baru selesai dipanggang, yang membawa kita mengasosiasikan makanan yang manis sebagai makanan yang menyenangkan.
Bekerja di daerah perkotaan bisa berarti perjalanan panjang dan macet, dimana hal ini mengakibatkan stress dan mengganggu tekad kita, karena kita akan merasa lebih lapar saat kita pulang lebih lambat dari biasanya. Sebuah riset di laboratorium, menunjukkan bahwa seekor tikus yang stress akibat bau dari predator menyebabkan tikus tersebut makan lebih banyak pelet yang kaya lemak, dibandingkan dengan makanan biasa yang juga disediakan.
Kurang Tidur
Apakah kita pernah terbangun saat sedang berbaring tidur pada malam hari, mengkhawatirkan tagihan atau tentang siapa yang akan mengawasi anak-anak kita ketika kita pergi kerja? Menurut sebuah survey, lebih dari 40% dari kita terjaga pada malam hari karena stress. Riset menunjukkan bahwa kekawatiran adalah penyebab utama insomnia. Pikiran kita menjadi aktif secara berlebihan dan tidak mau di “switch-off”. Kita mungkin juga sulit tidur karena belajar berlebihan untuk persiapan ujian atau menulis sampai larut malam.
Stress menyebabkan gula darah turun, sehingga kita menjadi lelah. Jika kita minum kopi atau soft drink yang mengandung kaffein agar tetap terjaga, maka siklus tidur kita akan menjadi lebih terganggu.
Tidur juga merupakan sebuah faktor yang mempengaruhi bertambahnya atau berkurangnya berat badan kita. Kurang tidur berakibat terganggunya fungsi ghrelin dan leptin, yaitu zat kimia yang mengendalikan selera makan.
Bagaimana meminimalisir bertambahnya berat badan ketika sedang stres?
Latihan
Latihan aerobik dapat menurunkan kortisol dan memicu pelepasan zat kimia yang mengurangi rasa sakit dan memperbaiki mood. Ia juga dapat membantu mempercepat proses metabolisme sehingga kita dapat membakar makanan kesukaan yang berlebih.
Pelajari pola makan Mindful Eating
Program Mindful Eating melatih kita dalam bentuk meditasi, yang akan membantu kita mengatasi stress, dan merubah kesadaran kita mengenai makan. Kita belajar memperlambat dan mencocokkan pengalaman indrawi kita terhadap makanan, termasuk tampilannya, tekstur atau aromanya. Kita juga dapat belajar merasakan “subjective feeling” terhadap kelaparan dan kekenyangan, lebih dari sekedar makan hanya dikarenakan inilah saatnya makan atau karena ada makanan di hadapan kita. Sebuah studi yang didisain dengan baik terhadap orang-orang yang makan banyak karena mengalami gangguan (binge eater) menunjukkan bahwa berpartisipasi dalam Mindful Eating Program mampu mengurangi konsumsi berlebih dan mengurangi depresi.
Temukanlah aktivitas yang bisa memberikan nilai lebih yang tidak berhubungan dengan makanan
Berjalan jauh, membaca sebuah buku, mengikuti kelas Yoga, mengikuti terapi pijat, bersama keluarga, merupakan beberapa cara untuk menghilangkan stress tanpa mengeluarkan biaya. Hal-hal ini dapat membantu kita agar merasa segar kembali, menjadikan kita dapat berpikir lebih cerah, memperbaiki mood kita, sehingga kita akan lebih sedikit mengalami kemungkinan untuk makan berlebih.
Menulis catatan (jurnal)
Tuliskanlah pengalaman-pengalaman atau tujuan kita, yang intinya membuat tangan kita sibuk dan pikiran kita terus digunakan, sehingga kita memiliki waktu yang lebih sedikit untuk makan makanan ringan ataupun makanan yang tidak menyehatkan. Studi-studi riset juga telah menunjukkan bahwa menulis secara ekspresif dapat memperbaiki mood dan kesehatan.
Ref : 022
Leave a Reply